Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar

esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar - Hallo sahabat Breaking News, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel esai, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar
link : esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar

Baca juga


esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar


Krisis Moral: Sumenep Kembali ke Langgar
Oleh: Ach. Jazuli*

Sumenep adalah salah satu kabupaten di kepulauan madura tepatnya di ujung paling timur Madura. Sumenep adalah kota yang mempunyai banyak sebutan salah satunya adalah kota religius. Masjid Jamik menjadi salah satu landmark kota sumenep sebagai kota religius, bangunan yang menjadi pusat kegiatan keagamaan sejak 3 abad silam ini juga menjadi simbol tingginya peradaban di masa silam. Bangunannya masih berdiri kokoh sampai saat ini menjadi saksi kejayaan sumenep pada masa lalu dimana kabupaten yang memiliki 126 pulau ini pernah berdiri kerajaan, posisinya sangat diperhitungkan dalam sejarah nusantara. Selain itu, gaya arsitektur masjid yang didirikan pada zaman kekuasaan Panembahan Sumolo ini merupakan perpaduan budaya Eropa, Teongkok, Arab dan Madura yang terlihat jelas dari bengunan gerbangnya serta inteior masjid. Perpaduan tersebut merupakan simbol dari masyarakat Sumenep yang sangat terbuka dengan budaya asing tanpa harus menghilangkan kearifan budaya lokal Sumenep sendiri. Bahkan yang menjadi arsitektur masjid yang masuk dalam 10 masjid tertua di Indonesia tersebut adalah Lauw Piango yang merupakan keturunan Tiongkok.
Berbicara kearifan lokal, tentu kehidupan masyarakat Sumenep sangat berpegang erat pada adat ketimuran, yakni tatakrama-lah yang menjadi nilai utama dari kehidupan masyarakat Sumenep. Terbukti dengan berdirinya pesantren-pesantren, langgar-langgar, dan tempat pendidikan lainnya. Bagi masyarakat yang di hidup di tanah kerajaan ini, puncak dari pendidikan adalah betambahnya tawaddu’ dan akhlak dalam setiap diri. Persoalan cerdas bukan tidak menjadi pertimbangan, namun kecerdasan tidak akan ada gunanya jika prilaku masih mencerminkan orang bodoh.
Mirisnya, dalam dekade akhir-akhir ini sering kita jumpai fenomina kehidupan masyarakat yang sangat tidak layak jadi contoh apalagi dibiarkan berada di bumi yang banyak makam-makam para pahlawan dan ulamak seperti asta tinggi, asta yusuf, asta panaongan, asta gumuk, asta adi poday dan masih banyak lagi pasarean-pasarean lainnya. Contoh khasusnya adalah terjadinya pergaulan bebas di kalangan pemuda seperti halnya pesta miras, pelecehan seksual, perampokan, pembunuhan sadis, serta tindak kriminal lainnya. Persoalan ini tentu tidak boleh dibiarkan supaya tidak semakin parah dan menjadi virus bagi generasi selanjutnya. Bagaimana caranya?.
Jika kembali pada sejarah, sumenep tidak bisa dipisahkan dari langgar. Langgar atau surau, ternyata bukan hanya sebagai tempat shalat, melainkan juga menyimpan catatan sejarah tentang tradisi kuno di Nusantara sejak abad ke-2 Masehi. Sayang, belakangan ini, sudah agak jarang ditemui adanya langgar di rumah-rumah masyarakat khususnya di perkotaan. Namanya pun bukan lagi langgar atau surau, melainkan menggunakan bahasa Arab, “Mushalla” yang berarti: “Tempat Shalat.” Memang tidak begitu salah istilah ini, hanya saja, setidaknya telah mempersempit makna dan fungsi sebenarnya. Bahwa langgar, pada dasarnya, pada abad ke-2 Masehi menjadi tempat serbaguna termasuk salah satunya adalah penyebaran ajaran tauhid. Menurut Drs. H Ridwan Saidi, sejarawan Betawi mengatakan, bahwa sejak abad ke-2 Masehi, sudah ada empat orang Syaikh dari Palestina yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan ajaran tauhid (Islam). Makam para Syaikh tersebut, terangnya, di antaranya berada di wilayah Tangerang (Banten) serta di wilayah Muria (Jawa Tengah). Meskipun sekarang nama dan sejarah mereka sudah ada yang dikaburkan (dirubah). Dalam menyebarkan misi dakwahnya, mereka menggunakan langgar sebagai institusi. Mereka berjalan kaki lalu mengajarkan tauhid dan budi pekerti pada masyarakat di langgar-langgar. Maka itu, fungsi langgar, bukan hanya sebagai tempat shalat melainkan juga untuk berbagai hal, termasuk menerima tamu, belajar, diskusi, dan lain-lainnya.
Terkait dengan langgar sebagai institusi, atau setidaknya, sebagai tempat serbaguna, sampai hari ini, masih lestari di sebagian daerah di Pulau Madura, khususnya. Meski bukan sebuah lembaga besar, yang namanya langgar tentu memiliki peran penting dalam proses awal pembentukan pribadi anak, terutama yang berkaitan dengan masalah agama. Seperti mengenal dasar-dasar agama Islam, sejarah umum turunnya Islam, serta pengenalan lib-aliban atau lif-alifan (mengaji kitab suci al-Quran). Bahkan menurut Drs K. Ismail Wongsoleksono, sumenep itu sangat erat sekali hubungannya dengan langgar, Dulu tidak ada istilah pesantren, tapi langgar. Seperti Langgar Kodas Ambunten, Langgar Toros Kebunagung, Langgar Loteng Sarsore, Langgar Barangbang, Langgar Tarate, Langgar Pandian, dan lain sebagainya, Dan dari langgar-langgar inilah yang selanjutnya menjadi cikal-bakal berdirinya sejumlah lembaga-lembaga besar di Sumenep. Meski tidak di lokasi yang sama, paling tidak dari langgar-langgar kunalah bertebaran tokoh-tokoh alim ulama, para arif billah, dan sejumlah pondok pesantren di wilayah Kabupaten Sumenep.
Di Langgar hanya ada beberapa murid berkisar antara 10-15 orang dengan satu guru yang disebut kaji atau ma’-kae. Minat ngaji di langgar waktu penulis masih kecil masih cukup banyak. Bahkan melalui komunitas ngaji dari langgar ini banyak di ajarkan Islam yang paling dasar. Seperti tata cara sholat, aqoid 50, cerita para Nabi, para pejuang Islam, hikayat (sastra), dan sebagainya. Serta dilanggar juga diajarkan kesantunan dan keramahan dalam beragama. Memang secara garis besar di langgar tidak ada kerikulum yang jelas dalam mengatur kegiatan belajar-mengajar, namun kontribusi bagi kehidupan sangatlah jelas terutama yang menyangkut aqidah dan pembentukan karakter.
Sayangnya, budaya ngaji di langgar ini kian memudar. Banyak langgar yang kemudian ditinggalkan. Anak-anak semakin disibukan dengan aktifitas lain yang lebih menarik, bermain gadget, kursus tambahan dan sebainya.
Di samping itu, tidak ada komunitas tertentu yang mau peduli dengan keberadaan langgar ini. Padahal langgar ini posisinya sangat penting. Dari langgar ini banyak anak-anak generasi masa depan yang berkumpul. Jika anak-anak mendapat cara belajar agama yang salah bisa terjebak pada model pembelajaranya golongan orang-orang yang suka mengkafirkan orang lain.
Langgar merupakan tempat pertama sebelum anak-anak keluar untuk mengenal dunia lebih luas. Dari langgar ini dimulai pembelajaran agama, mengenal al-Qur’an, mengenal Islam, dan sebagainya. Anak-anak sejak kecil harus diajarkan seperti apa Islam itu, Islam yang ramah, toleran serta berkarakter. Pendidikan yang dilaksanakan di langgar sejalan dengan tori Rousseu yang mengusulkan suatu system pendidikan yang sesuai dengan kodrat manusia . Ia melihat bahwa kebebasan manusia sejak lahir telah terkekang dan terikat disetiap kehidupannya. John Dewey memandang kehidupan adalah perubahan. Ketika kita memilih maka kita berpikir. Pendidikan hendaknya mengembangkan kekuatan peserta didik.
Pemikir revolusioner pendidikan Michel Foucault memberikan bentuk pemikiran bahwa manusia sebagai individu yang merdeka dan bukan sebagai tubuh-tubuh jinak oleh tekanan politik menuju kepada individu yang merdeka yang mampu menentukan nasibnya sendiri dalam proses pembentukan diri sebagai subjektis. Pengaruh pendapatnya erat kaitannya dengan lahirnya apa yang disebut dengan pedagogis kritis atau pedagogif tranformatif.
Pedagogik kritis mengupayakan suatu reformasi di dalam proses pendidikan yang menghasilkan kesamaan, keadilan, dan pengakuan atas hak asasi manusia yang setara. Hal ini sudah selesai di langgar, seorang kaji atau ma’-kae tidak pernah memposisikan dirinya yang paling terhormat tapi melalui pendekatan emosionalya seorang kaji atau ma’-kae telah menanamkan sifat rendah hati dan saling menghormati terhadap sesama.
Al-hasil, kita selaku masyarakat Sumenep harus membangun dan melestarikan budaya ngaji di langgar sebagai bekal untuk membentuk karakter anak dalam menghadapi perkembangan zaman yang semakin hari semakin tidak ada kontrol yang bertanggungjawab. Kita harus mengembalikan Sumenep pada sejarah, lingkungannya yang asri serta masyarakat yang hidup didalamnya damai, toleran serta penuh dengan hormat-menghormati.


*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Prongpong sekaligus Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Madura



Demikianlah Artikel esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar

Sekianlah artikel esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar dengan alamat link https://gpbn1.blogspot.com/2020/05/esai-krisis-moral-sumenep-kembali-ke.html

Posting Komentar untuk "esai - Krisis moral: Sumenep kembali ke Langgar"